Konten Receh Bikin Otakmu Membusuk
Konten Receh Bikin Otakmu Membusuk
Pernah mendengar istilah "brain rot"? Fenomena "brain rot" kini menjadi perhatian serius di era digital, terutama di kalangan generasi muda.
Istilah ini merujuk pada kondisi di mana kemampuan kognitif seseorang mengalami penurunan akibat konsumsi berlebihan konten digital yang tidak menantang atau berkualitas rendah.
Jika diartikan secara harfiah, "brain rot" berarti "pembusukan otak". Kamus Oxford mendefinisikan istilah ini sebagai degradasi mental atau intelektual yang disebabkan oleh paparan berlebihan terhadap materi yang remeh, terutama konten daring.
Istilah pembusukan otak sebenarnya memiliki sejarah panjang. Salah satu referensi awalnya ditemukan dalam karya klasik "Walden" oleh Henry David Thoreau, yang menggambarkan bagaimana masyarakat cenderung memilih ide-ide sederhana daripada berpikir lebih mendalam. Baca ulasan tentang buku "Walden" di https://www.facebook.com/share/p/18w54ZM8t3/.
Dalam konteks modern, "brain rot" menjadi semakin relevan karena kebiasaan kita yang sering terjebak dalam siklus tanpa akhir menggulir media sosial.
Di Indonesia, fenomena ini tampak nyata. Seorang mahasiswa di Jakarta, misalnya, pernah mengaku kehilangan kemampuan fokus dan motivasi belajar akibat terlalu sering menghabiskan waktu berjam-jam di media sosial.
Awalnya ia adalah mahasiswa yang aktif dan berprestasi, tetapi kebiasaan mengakses konten digital yang berlebihan perlahan-lahan menggerus kualitas hidupnya, bahkan memengaruhi kesehatannya secara keseluruhan.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Amerika Serikat, para ahli mencatat lonjakan kecanduan media sosial di kalangan remaja, yang mengakibatkan penurunan kemampuan berpikir kritis.
Di Norwegia, penelitian menunjukkan bahwa remaja secara sengaja mencari konten "brain rot" di TikTok untuk mengalihkan perhatian mereka dari stres. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena ini bersifat global, meskipun dampaknya dapat bervariasi tergantung pada lingkungan dan budaya.
Penyebab utama brain rot terletak pada konsumsi media sosial yang berlebihan dan kecenderungan untuk memilih konten yang tidak memberikan nilai edukatif.
Konten seperti meme, video pendek, atau cerita viral biasanya dikonsumsi bukan untuk menambah wawasan, tetapi semata-mata untuk hiburan.
Akibatnya, otak kita terbiasa dengan informasi yang dangkal dan kehilangan kemampuan untuk memproses informasi yang lebih kompleks.
Gaya hidup yang kurang aktif dan minim tantangan intelektual juga memperparah masalah ini.
Dampak dari brain rot tidak bisa dianggap sepele. Kemampuan kognitif yang menurun adalah salah satu efek yang paling nyata, di mana otak menjadi lebih pasif dan kesulitan dalam berpikir kritis atau analitis.
Kecanduan media sosial dapat memicu stres, kecemasan, dan bahkan depresi. Tidak sedikit yang akhirnya kehilangan produktivitas karena waktu yang seharusnya digunakan untuk belajar atau bekerja terbuang percuma untuk menggulir konten digital.
Gangguan akibat konten receh di media sosial ini bukan tanpa solusi. Salah satu langkah awal yang bisa diambil adalah membatasi waktu penggunaan media sosial, dengan menetapkan batas harian yang tegas.
Memilih konten berkualitas yang memberikan manfaat intelektual juga merupakan langkah penting.
Aktivitas fisik dan interaksi sosial di dunia nyata juga dapat membantu menjaga keseimbangan antara kehidupan digital dan kehidupan nyata, sehingga mengurangi dampak negatif dari konsumsi media yang berlebihan.
Fenomena "brain rot" mengingatkan kita akan pentingnya menjaga kesehatan mental dan intelektual di tengah derasnya arus digitalisasi.
Dengan kesadaran dan upaya kolektif, kita dapat menghadapi tantangan ini dan memastikan bahwa teknologi tetap menjadi alat yang mendukung, bukan justru melemahkan, kemampuan berpikir kita. (*)
Sumber FB : Wicaksono Wicaksono