Mie Gacoan Diduga Langgar Hak Cipta
Mie Gacoan Diduga Langgar Hak Cipta
Beberapa hari terakhir, publik dikejutkan dengan kabar bahwa Direktur PT Mitra Bali Sukses sekaligus pemegang lisensi waralaba Mie Gacoan di Bali, I Gusti Ayu Sasih Ira, ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Bali. Penetapan tersebut berkaitan dengan dugaan pelanggaran hak cipta, khususnya pemutaran musik secara komersial di gerai tanpa membayar royalti kepada pemilik hak. Kasus menjadi penting karena hal yang selama ini dianggap remeh oleh banyak pelaku usaha, yaitu memutar musik latar di restoran, kafe, atau tempat usaha lain yang ternyata tunduk pada aturan hukum dan tidak bisa digunakan sembarangan.
Dugaan pelanggaran ini muncul dari laporan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI) yang menyatakan bahwa gerai Mie Gacoan di Bali memutar musik untuk tujuan komersial tanpa melakukan pembayaran royalti. Laporan ini disampaikan oleh Manajer Lisensi SELMI, Vanny Irawan, berdasarkan kuasa dari Ketua SELMI. Setelah melalui proses penyelidikan sejak Agustus 2024 dan masuk tahap penyidikan pada Januari 2025, akhirnya pihak Polda menetapkan Ira sebagai tersangka pada 21 Juli 2025. Namun, hingga kini ia belum ditahan. Polisi menyebutkan bahwa seluruh tanggung jawab atas penggunaan musik tersebut berada di tangan direktur, karena dialah pemegang otoritas operasional gerai.
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan pelanggaran ini? Berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016, setiap pelaku usaha yang memutar musik secara publik untuk tujuan komersial wajib membayar royalti kepada pemilik hak cipta melalui LMK. Perhitungannya tidak sembarangan, untuk restoran misalnya, dihitung berdasarkan jumlah kursi yang tersedia dikalikan tarif 120.000 per kursi per tahun. Jika satu gerai memiliki 100 kursi, maka estimasi royalti yang harus dibayar adalah 12 juta per tahun, dikalikan jumlah outlet. Dalam kasus Gacoan Bali yang memiliki beberapa gerai besar, jumlah royalti yang tidak dibayarkan diperkirakan mencapai miliaran rupiah.
Pertanyaannya, mengapa hal seperti ini terjadi? Banyak pelaku usaha, terutama di sektor F&B, belum memahami bahwa musik termasuk dalam objek perlindungan hak cipta. Lagu-lagu yang diputar di restoran, baik melalui speaker, playlist digital, maupun streaming, tetap harus mendapatkan lisensi resmi karena digunakan untuk mendukung suasana dan menarik pelanggan, artinya memiliki nilai komersial. Sayangnya, kesadaran akan hal ini masih minim. Banyak pengusaha mengira bahwa hanya pelaku industri besar atau penyelenggara konser yang wajib membayar royalti, padahal semua pemanfaatan publik atas karya musik tunduk pada hukum yang sama. Dalam kasus waralaba seperti Mie Gacoan, bisa jadi pemilik cabang juga belum mendapat pemahaman memadai dari pihak pusat soal kewajiban legal ini.
Kesalahan semacam ini tidak harus selalu dipandang sebagai niat jahat, melainkan bisa jadi bentuk kelalaian administratif yang bersumber dari kurangnya literasi hukum. Hal ini menjadikan perlunya edukasi dan sosialisasi hukum hak cipta secara lebih luas kepada pelaku usaha. Bagaimanapun, kelalaian tersebut tetap berkonsekuensi hukum, dan bisa menjadi permasalahan serius jika tidak segera ditangani.
Kasus ini menjadi peringatan keras dan pembelajaran penting bagi seluruh pelaku bisnis di Indonesia. Apapun jenis usaha yang dijalankan, baik UMKM maupun jaringan waralaba besar perlu memperhatikan seluruh aspek legalitas, termasuk hal-hal yang tampak kecil seperti musik latar. Musik bukan hanya hiburan gratis. Ia adalah karya yang memiliki pemilik, dan setiap penggunaan publiknya harus dihargai sesuai hukum yang berlaku. Pelaku usaha sebaiknya segera mengurus lisensi ke LMK resmi seperti SELMI jika memang memutar musik di tempat usahanya.
Solusinya cukup jelas, jika sebuah bisnis ingin menggunakan musik untuk menciptakan suasana, ajukan lisensi penggunaan secara resmi. Biayanya tidak seberapa dibandingkan dengan dampak hukum dan kerugian reputasi yang bisa terjadi di kemudian hari. Selain itu, pengelola waralaba dan manajemen pusat usaha besar juga harus bertanggung jawab menyosialisasikan kewajiban ini ke seluruh mitra cabangnya. Edukasi legal menjadi kunci agar setiap elemen bisnis berjalan sesuai hukum, menghormati hak kreatif, dan pada akhirnya menciptakan ekosistem usaha yang sehat dan berkelanjutan.
---
#ceritabisnis
Disclaimer:
Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait fenomena bisnis atau industri untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik.
Sumber FB : Pecah Telur